dari aku yang dulu dirundung

Semalam aku membaca sebuah postingan yang dibagikan temanku di media sosial, isinya tentang perundungan yang dialami MS di Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI. Membacanya membuatku merinding karena aku menjadi teringat dengan pengalaman yang kualami masa lalu. Aku tidak pernah menceritakan ini ke teman-temanku, bahkan suamiku sekarang belum tahu. Hanya dua orang yang mengingatnya karena terlibat langsung saat itu, yaitu kedua orang tuaku. Kali ini, aku ingin menulisnya sebagai upaya untuk berdamai dengan traumaku dengan tidak menyembunyikannya lagi.


Masa kecilku diwarnai dengan berpindah-pindah rumah dan sekolah. Bapakku merupakan pegawai negeri sipil yang baru saja pulang pendidikan Master di UK, kembali ke Indonesia tanpa memiliki aset rumah untuk pulang bersama istri dan anak-anaknya. Kami pun menumpang rumah Paktuo di Joglo Jakarta Barat, Pakde di Tebet Utara, bahkan rumah eyang putri Tebet Timur, Jakarta Selatan.

Sepanjang itu pula, Bapakku menabung dan mencicil untuk membangun rumah pertama kami di Pondok Pucung, Tangerang Selatan. Agar pendidikan kami tidak terputus, Ibu memindahkan sekolah kami dari SD Islam Muhammadiyah Tebet ke SD Islam Al-Falaah di daerah Ciputat. Selama masa transisi pindah domisili, setiap hari Ibu mengantarkan kami dari rumah eyang di Tebet ke Tangerang untuk sekolah. Hingga akhirnya, rumah kami di Tangerang layak ditempati dan kami memiliki rumah sendiri.

Lambat laun karir Bapakku meningkat dan beliau ingin menyekolahkan anaknya di tempat yang lebih baik, yang mana pilihannya saat itu adalah SD Islam Al-Azhar Bintaro. Di tengah-tengah kelas 5 SD, aku pindah sekolah dan menjadi ‘anak baru’ lagi untuk yang ketiga kalinya. Di sekolah baru ini semuanya terasa asing, namun di hari kedua ada seorang anak lelaki yang mengajakku ngobrol. Kita sebut dia D. Sebagai anak baru yang belum memiliki teman, tentu saja aku senang memiliki teman mengobrol. Tak dinyana, ini mendatangkan kecemburuan pacarnya. Disinilah titik mula mimpi burukku..

Aku dituduh merebut pacar orang, genit, dan sebagainya. Pacar D ini adalah anak yang paling populer di sekolah itu. D, pacar D, dan konco-konconya ini memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk taraf anak SD. Puncaknya, perundungan verbal itu meningkat menjadi fisik. Suatu hari kelas kesenian, kami membuat prakarya yang ukurannya cukup besar sehingga kami sekelas duduk di lantai untuk menyelesaikan proyek tersebut. Menjelang berakhirnya kelas, aku yang sedang duduk bersila diinjak dengan sepatu basket booster ini. Sakit dan pahaku memar besar hingga berhari-hari.

Ilustrasi sepatu basket yang nge-trend pada era itu.

Akibat kejadian ini, aku sangat trauma dan menolak pergi ke sekolah keesokan harinya. Aku menangis di hadapan Bapak dan Ibu, memohon untuk memindahkanku sekolah. Selama ini, aku memang tidak pernah menceritakan perundungan verbal yang kualami. Lantas betapa kaget dan marahnya Bapak saat aku ceritakan itu semua.

Pagi itu juga, Bapak datang bersamaku ke sekolah dan memaksa menemui Kepala Sekolah. Selama Bapak bersama kepala sekolah, aku tetap di kelas dan mengikuti proses belajar mengajar. Aku tidak ingat apa yang terjadi dengan para perundung itu, katanya mereka dipanggil menghadap Kepala Sekolah dan Bapakku. Namun, aku ingat hari itu adalah hari yang sangat damai karena aku tidak dirundung dan semua orang menjauh dariku. Aku pun diejek ‘pengadu’ karena melaporkan perundungan yang kualami.

Perundungan yang kualami ini membuatku tidak percaya diri. Aku tidak sepenuhnya merasa nyaman dan aman karena aku lanjut bersekolah dengan beberapa mantan perundung tersebut di SMP dan SMA Islam Al-Azhar. Walaupun aku memiliki teman-teman yang baik semasa SMP dan SMA, tapi aku memiliki kecenderungan untuk menghindar dari para murid populer atau pentolan pada zamannya. Hingga aku pun tidak bergabung dengan OSIS, kepanitiaan, bahkan malu saat tampil di depan sekolah.

Semua ini menjadi baik ketika memasuki waktu perkuliahan, dimana aku menjadi satu-satunya siswi Al-Azhar yang diterima di Institut Pertanian Bogor. Akhirnya aku bisa memulai lembar baru setelah bersekolah tujuh tahun di tempat yang sama dengan para perundung. Di IPB, aku memberanikan diri ikut paduan suara mahasiswa, aktif di berbagai organisasi, mencoba segala hal yang sebelumnya tidak berani saat sekolah dulu. Aku menjadi percaya diri dan bisa tampil di muka umum. Aku menjadi diriku sepenuhnya.


Menghadapi perundungan bukanlah hal yang mudah, apalagi ketika kita berusaha seorang diri. Butuh keberanian untuk menghadapi para perundung, pun butuh keberanian untuk memulai minta pertolongan. Bapakku mengajarkan untuk tidak menghindari masalah, tapi semua harus dihadapi. Suatu hari, pasti akan ada masanya dimana kita bisa menatap balik dan menertawakan apa yang terjadi. Time will heal.

Untuk teman-teman yang membaca ini dan sedang mengalami perundungan dimana pun kalian berada, please reach out to anyone. Kalian nggak sendiri, pasti ada yang akan membantu kamu keluar dari neraka itu. Jangan menyerah, kamu lebih kuat daripada perundung itu.

Warm hugs,
Farah

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *