Anak Cambridge

“Far, mau beli jaket waterproof nggak? Ada nih merek Cambridge!”

Dahi saya langsung mengernyit saat itu. Ada yah merek Cambridge? Tak dinyana, itu jaket dari University of Cambridge. Yassalam nastar, Kaaaang. Hahahah.

Jaket secondhand buruan Kang Cumeng itu pun akhirnya hanya saya pakai saat nanjak gunung saja. Pernah sih dipakai saat commute Bintaro-Bogor pada zaman kuliah, dan (rasanya) banyak tatapan mata menghujam heran karena mengira saya (saya!) anak univ Cambridge. Malu boook hahahah. Bukan malu sama jaketnya, tapi sama diri ini yang rasanya ndak pantas pake jaket itu.

Ketidakpedean saya pun berlanjut setelah lulus. Dengan IPK yang menurut saya nggak cukup untuk mendapatkan beasiswa, maka saya mengubur diri dan memilih untuk bekerja saja. Toh, untuk menjadi pengusaha tidak butuh gelar S2, melainkan pengalaman dan waktu bergelut untuk menjalani proses mewujudkan target. Apalagi melihat teman-teman saya yang lanjut dari S1 ke S2 kebanyakan ingin menjadi dosen. Jadi, kesimpulan yang saat itu bisa diambil :

Mau jadi dosen silakan ambil S2.

Kalau mau jadi pengusaha, emang butuh kitanya yang S2?

Dua tahun lalu Papa saya sempat mempertanyakan mengapa saya keukeuh tidak mencoba sekolah di luar negeri. Di mata beliau bisnis yang saya jalankan itu kecil, mau dibawa kemana kalau skalanya kampus seperti itu? “Menjadi pengusaha itu bukan hanya pengalaman dan waktu, tetapi networking lah yang paling penting. Lihat Gita Wirjawan, beliau membuka jalur-jalur perdagangan yang bisa membantu ekonomi Indonesia berbekal dengan kekuatan relasinya di kampus, yaitu Harvard University. Perusahaan dan negara sama saja toh? Menghidupi orang banyak, jual beli komoditi, menghasilkan keuntungan, dibarengi pula dengan urusan sosial.” debatnya saat itu.

Sakit hati karena keringat saya dan teman saya ‘diinjak’ seperti itu, saya tangkis saran itu dengan alasan ingin merasakan mengembangkan usaha dan bekerja di bawah orang lain. “Kalau langsung kuliah lagi, nanti tidak ada pengalaman yang bisa saya bawa dan kembangkan dong?” ujar saya saat itu. Setahun bergelut di katering dan tujuh bulan bekerja, sepanjang itulah saya memiliki banyak waktu untuk merasakan dan menilik apa tujuan hidup yang sebenarnya.

“Saya ingin bekerja di rumah dan bisa pergi kemana pun sesuka hati.”

Kepada sahabat dengan lantang saya ucapkan baru-baru ini. Mereka terdiam dan berkata bahwa saya sudah menemukan lentera hidup (ini kalimat mereka, bukan saya loh hahahah. Geli yah?) Jika kamu membaca buku Kiyosaki, Rich Dad Poor Dad, pasti tahu kuadran mana yang harus dimasuki untuk mencapai tujuan ‘waktu banyak – uang banyak’.

“If you want to be rich, think BIG. Think differently.” – Robert Kiyosaki

Dua kuadran bagian kiri adalah work hard, sedangkan dua di kanan adalah work smart. Apakah kuadran terakhir merupakan yang cocok untuk saya? YHA! I know it for sure! Sekarang saya mengerti apa yang dimaksud dengan ayah dan Mr. Kiyosaki tentang bermain besar. Berpikirlah dan bergeraklah dengan besar jika kamu ingin menjadi besar! Tidaklah salah bermain kecil dan mengerti detil sedikit demi sedikit, tetapi harus terus berani membuka kemungkinan untuk melangkah menjadi besar untuk mendapatkan tujuan yang dimau, yaitu kebebasan finansial.

Cerita Papa yang dulu hanya menjadi selewatan di kuping kini menjadi sangat berarti, walaupun cerita itu bagaikan kaset yang diputar lagi. “TOEFL Papa dulu cuma 450. Belajar mati-matian di usia 27 tahun untuk membuktikan orang-orang yang melecehkan Papa kalau  Papa itu bisa, sambil terus membayangkan lagu Bee Gees ‘Massachusetts’. Tidak ada yang tahu jalan hidup seorang manusia, sampai Papa akhirnya bisa menyentuh air sungainya bagaikan air zamzam.”

Jika saya tidak mengizinkan orang lain merendahkan saya, mengapa saya melecehkan diri sendiri? 

Ketika dulu saya menganggap S2 itu tidak penting, tetapi sekarang saya menganggapnya sebagai pembuka jalur yang lebih luas untuk menggapai tujuan saya. Sederhananya, saya kuliah pangan tetapi tidak menggunakan ilmu pastinya untuk mendapatkan uang. Kuliah dalam bidang ilmiah melatih otak untuk berpikir dan bergerak dalam runutan yang logis. Lantas, jika saya mengambil S2? Tidak ada yang tahu pengalaman apa yang bisa saya ambil selama prosesnya nanti. Begitu banyak kesempatan yang akan terlewatkan hanya karena kita menganggap diri tidak mampu. Dan saya yakin akan menyesal jika menahan-nahan diri untuk tidak memperjuangkan apa yang sebenarnya saya rasakan penasaran.

So, that’s my goal. Mungkin jaket Cambridge ini menjadi pertanda yang harus dicari kebenarannya, sama seperti peran lagu Bee Gees untuk Papa yang mengiringi niatnya untuk belajar.

Bagaimana dengan tujuanmu? 🙂

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *